
Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut
adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah
selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan “cucu urang 10”
yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka
ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito
Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal
bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal
urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari
menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal
urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi
cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip
dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).
Ketika era dinasti ke-12 Mesir Purba (1991-1782
SM). Di dalam catatan yang ditulis oleh Amenii (penulis Mesir Purba bagi
hikayat ini) ada menceritakan kisah seorang pelaut yang terdampar di sebuah
'pulau ajaib'.Pulau itu dikenali sebagai Punt dan rajanya ialah 'The King of
Serpent.Yang menariknya, Punt adalah pulau dan bukan tanah besar,dan ini
menolak teori Punt sebagai Somalia,Sudan atau sebagainya di Afrika.Aneh,kerana
semua hikayat Mesir mengenai Punt menegaskan ia adalah PULAU dan bukan tanah
benua, namun sebagian para pengkaji masih mengaitkannya dengan negeri-negeri
Afrika. Walaupun bukti kapur barus untuk mengawetkan mayat para Firaun diyakini
datang dari Sumatera,namun dalam kajian Punt ini, mereka tidak percaya
kapal-kapal Mesir mampu mengarungi keganasan Lautan Hindi.
Kajian penulis (Srikandi) mendapati Punt adalah Borneo pada hari ini setelah nama purba Borneo adalah slang Latin kepada 'Brunei'.Jadi Borneo sebenarnya adalah Pulau Brunei.Apabila mendapati rekod purba China menyebut Brunei sebagai Poni atau Puni maka penulis yakin bahawa orang Mesir Purba juga memanggil Brunai/Borni sebagai PUNI. Jadi sekitar Tahun 1991- 1782 SM telah ada Kerajaan Dayak.
Kajian penulis (Srikandi) mendapati Punt adalah Borneo pada hari ini setelah nama purba Borneo adalah slang Latin kepada 'Brunei'.Jadi Borneo sebenarnya adalah Pulau Brunei.Apabila mendapati rekod purba China menyebut Brunei sebagai Poni atau Puni maka penulis yakin bahawa orang Mesir Purba juga memanggil Brunai/Borni sebagai PUNI. Jadi sekitar Tahun 1991- 1782 SM telah ada Kerajaan Dayak.

Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan
kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti
keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti “Kedukan Bukit” yang
terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi
tulisan “Daputra yang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga
Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur”. Bukti lainnya adalah Prasasti
Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606
Saka. Isi tulisannya adalah “Jaya Sidda Yatra” yang artinya perjalanan Ziarah.
Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua
buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu
berhuruf Pallawa. Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun
keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang
merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis
sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke Candi
Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang mengatakan
bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun 1387 M.
Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung
tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama
Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah
rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.
Pada Tahun 1309 M orang-orang Maanyan mendirikan
sebuah Kerajaan bernama Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai ini konon lanjutan
dari periode sebelumnya dimana dahulu pernah berdiri juga kerajaan Nan Marunai
(Nan Sarunai) oleh lima orang bersaudara yang merupakan leluhur orang Dayak di
Kalimantan. Pada periode kedua ini Nan Sarunai didirikan oleh Japutra Layar.
Nan Sarunai sendiri berasal dari kata Marunai = memanggil dengan suara nyaring,
Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling, Nai = Seruling (dalam bahasa
arab/melayu tua) sehingga dapat di artikan bahwa Nan Sarunai adalah rakyat yang
gemar bermain musik/bernyanyi. Kerajaan Nan Sarunai ini rakyatnya sangat makmur
disebabkan mereka melakukan perdagangan sampai ke Sumatera, Jawa, Sulawesi
bahkan sampai ke Madagaskar. Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara
lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain. Rakyat
kerajaan nan Sarunai ini menganut kepercayaan Kaharingan.
Pada masa itu kerajaan Majapahit di pulau Jawa
sedang berusaha menancapkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Adalah Maha
Patih Gajah Mada (1313-1364) seorang mangkubumi terkenal Majapahit yang
melakukan sumpah saat diangkat menjadi Mangkubumi Kerajaan pada Tahun 1336 M di
masa kekuasaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350) dikenal dengan “Sumpah
Palapa” yaitu sebuah tekad untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah
kekuasaan Majapahit. Ambisi Maha Patih Gajah Mada berlanjut sampai Prabu Hayam
Wuruk (1350-1389) naik tahta.
Salah satu kerajaan incaran Majapahit untuk
ditaklukkan adalah kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan Tanjungpuri. Pada masa itu
dua kerajaan ini merupakan wilayah perdagangan yang ramai, rakyatnya hidup
makmur bahkan diceritakan dinding-dinding Istana kedua kerajaan ini berlapis
emas sebagai tanda kemakmuran. Maha Patih Gajah Mada mengutus seorang panglima
handalnya untuk memata-matai kedua kerajaan ini yaitu Laksamana Nala, seorang
berdarah Melayu asal Melaka yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Atas hasil
penyelidikan Laksamana Nala akhirnya Majapahit mengetahui kelemahan kedua
kerajaan ini, sehingga pada Tahun 1356 M Majapahit mengirimkan ekspedisi
militer pertamanya ke kerajaan Nan Sarunai sebagai batu loncatan untuk
selanjutnya menyerang Tanjungpuri. Serangan pertama ini mengalami kegagalan
sebab kerajaan Nan Sarunai bersatu dengan kerajaan Tanjungpuri dalam menghadapi
serangan Majapahit.
Tersebutlah dalam legenda lima orang panglima
Tanjungpuri yang terkenal ketika membantu kerajaan Nan Sarunai menghadapi
serangan Majapahit yaitu Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan,
Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Kelima orang panglima ini merupakan lima
bersaudara dimana si bungsu yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin adalah
saudara kembar. Mereka berlima anak dari Datu Intingan yang terkenal dalam
legenda masyarakat di pegunungan Meratus. Datu Intingan adalah saudara dari
Datu Dayuhan mereka berdua ini masih keturunan dari legenda Dayak Maanyan “cucu
urang 10” dimana salah satu anak dari Datu Anyan yaitu Datu Alai (Alai Tua)
menetap di wilayah Birayang (Meratus) yang menurunkan Datu Dayuhan dan Datu
Intingan. Datu Intingan kawin dengan para Imigran Melayu dan mempunyai lima
orang putera yang sekarang menjadi Panglima di Kerajaan Tanjungpuri.
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit
kembali mengirim ekpsedisi militer kedua pada Tahun 1358 M. Ekspedisi kedua
kali ini dipimpin langsung oleh Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat
pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga
pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan “Bhayangkara”. Pada
ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan Nan
Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja
Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam
peperangan. Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan
Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai di bunuh oleh Laksamana Nala dengan
sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya. Laksamana
Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai
dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara.
Setahun sebelum ekspedisi militer kedua ke Tanah Borneo yaitu pada Tahun 1357
M, Laksamana Nala terlibat dalam “Perang Bubat” melawan pasukan Pajajaran
mendampingi Maha Patih Gajah Mada. Perang ini terjadi akibat kesalah pahaman di
antara kedua pasukan. Dalam perang tersebut Prabu Lingga Buana Raja Pajajaran
beserta seluruh pengawalnya terbunuh, karena menghadapi pasukan Majapahit yang
berkali-kali lipat lebih banyak, melihat ayahnya terbunuh anak Prabu Lingga
Buana yang bernama Putri Dyah Pitaloka bunuh diri, padahal Putri Dyah Pitaloka
ini rencananya hendak di lamar oleh Prabu Hayam Wuruk. Akibat dari peperangan
ini hubungan Maha Patih Gajah Mada dengan Prabu Hayam Wuruk menjadi terganggu,
dan juga mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan antara orang Sunda dan
Majapahit, konon tak satu pun daerah di Sunda (Jawa Barat) menggunakan nama
berbau Majapahit.
Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan
Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati
perlawanan yang hebat dari pasukan dan rakyat Tanjungpuri terutama dari lima
orang panglima kerajaan yang terkenal tersebut. Setelah berhari-hari berperang
akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan.
Pasukan Majapahit kembali ke pulau Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup
lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang
menghadapi kerajaan Nan Sarunai, sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami
kehancuran dimana-mana Infrastruktur kerajaan banyak yang rusak. Akibat dari
peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu
ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan
ketika mendengar ada peperangan.
Sebagai tanda terima kasih kepada lima orang
Panglima kerajaan, Raja Tanjungpuri memberikan kelima orang Panglimanya wilayah
kekuasaan. Panglima Alai di daerah Batang Alai, Panglima Tabalong di daerah
Batang Tabalong, Panglima Balangan di daerah Batang Balangan, Panglima Hamandit
di daerah Batang Hamandit dan Panglima Tapin di daerah Batang Tapin. Raja
Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan
(Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran
akibat diserang Majapahit. Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan
lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan. Kekuasaan kerajaan Kuripan
melingkupi daerah yang sama dengan kekuasaan kerajaan Tanjungpuri.
Pada Tahun 1387 M seorang bangsawan kediri dari
Keling (dulunya daerah kekuasaan Sriwijaya di India yang menjadi wilayah
Majapahit) melakukan ekspedisi ke tanah Borneo, pertama-tama mereka menaklukkan
kerajaan Candi laras di Marga Sari. Ekspedisi ini di pimpin oleh Empu Jatmika,
di bantu oleh dua orang putranya yaitu Lambungmangkurat dan Mandastana. Dalam
rombongan itu juga turut serta Pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Hulubalang
Arya Megatsari dan 1000 tentara Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Tatah
Jiwa. Empu Jatmika sendiri sebenarnya adalah seorang buronan politik masa lalu
Majapahit. Karena Empu Jatmika adalah keturunan bangsawan kerajaan Kediri yang
merupakan musuh kerajaan Singosari (leluhur Majapahit) di masa lalu. Setelah
berhasil menguasai Candi Laras Empu Jatmika mendirikan kerajaan Negaradipa dan
diangkat sebagai kepala pemerintahan dengan gelar Maharaja di Candi. Dengan
bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat. Namun
demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit
atau dikenal dengan istilah “sakai”. Walau Negaradipa cukup kuat tapi untuk
menyerang kerajaan Kuripan masih berpikir dua kali karena walau bagaimana pun
kekuatan Kuripan waktu itu masih diperhitungkan, apalagi ada lima kerajaan
kecil yang dipimpin oleh mantan Panglima kerajaan Tanjungpuri ada
dibelakangnya. Untuk memuluskan rencananya Maharaja di Candi merayu Raja
Kuripan agar mau mengawinkan putrinya dengan putranya, namun Raja Kuripan
menolak, tidak putus asa Lambungmangkurat yang bertindak sebagai Mangkubumi
menawarkan penggabungan kedua kerajaan dan mengangkat Putri Junjung Buih anak
Raja Kuripan sebagai ratu Negaradipa. Akhirnya Raja Kuripan menerima tawaran
tersebut dengan berbagai pertimbangan, walau banyak ditentang oleh para kerabat
dan pejabat Kahuripan. Negaradipa pun memindahkan pusat kerajaan ke Kuripan.
Atas keputusannya yang kontroversi itu membuat Raja Kuripan merasa bersalah dan
akhirnya mengasingkan diri diikuti beberapa kerabat ke daerah Batu Piring
(Paringin). Di Batu Piring Raja Kuripan mendirikan kerajaan kecil bernama
Kerajaan Batu Piring dan saudara raja diangkat sebagai kepala pemerintahannya.
Walau pun Junjung Buih sudah diangkat menjadi
Ratu di Negaradipa namun semua kebijakan tetap ditangan Patih Lambungmangkurat.
Negaradipa ternyata kepanjangan tangan Majapahit di Pulau Kalimantan, Puteri
Junjung Buih pun dinkahkan dengan Pangeran anak Raja Majapahit, bernama Raden
Putra atau Pangeran Suryanata. Beberapa Pangeran Kuripan yang kecewa pergi
meninggalkan Istana, namun diburu oleh pihak Negaradipa karena dikawatirkan
akan melakukan pemberontakan. Para Pangeran melarikan diri ke daerah Batang
Alai dan diangkat menjadi pemimpin di daerah tersebut. Merasa terancam Patih
Lambungmangkurat memerintahkan menyerang daerah Banua Lima, yaitu Batang Alai,
Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Hamandit dan Batang Tapin. Kerajaan
Batu Piring sendiri luput dari penyerangan karena bersedia menjadi bagian dari
kerajaan Negaradipa. Dibantu oleh pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya
Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa kelima daerah itu bisa ditaklukkan.
Sementara Pangeran Kuripan berhasil diselamatkan oleh para Panglima dan
disembunyikan di daerah Mangga Jaya (Wilayah Kec. Batang Alai Timur sekarang)
di pegunungan Meratus. Daerah Mangga Jaya sendiri konon sulit ditaklukkan oleh
Negaradipa beberapakali pasukan Negaradipa dikirim kesana namun tidak pernah
berhasil menaklukkan daerah Manggajaya, sebab menurut legenda setempat di sana
tempat berkumpulnya para Panglima Banua Lima yang sakti dan juga topografi
daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah
tempat pertahanan.
1.Tulisan Mudjahidin. S (Pemerhati Budaya dan Kebudayaan).
2.Hikayat Datu Banua Lima (Cerita Rakyat Hulu Sungai)
3.Hikayat Manggajaya (Cerita Rakyat Batang Alai)
4.Wikipedia (Ensiklopedia Bahasa Indonesia)
5. Tulisan Srikandi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar